JEFF THE KILLER: VOW OF REVENGE PART 02 – ORIGINAL SERIES=PUZYWELD

“Jadi sejak kapan kau melihatnya?”

Janet kini sedang duduk di ruangan Dr. Gunther. Ia merasa nyaman di sini. Ruangan itu dipenuhi buku2 sehingga lebih mirip sebagai sebuah perpustakaan ketimbang kantor seorang profesor.

“Sejak beberapa hari ini. Apa mungkin ini karena stress akibat belajar?” jawab Janet.

Dr. Gunther tak menjawab, “Dan apa pendapat teman-temanmu mengenai hal ini.”

“Baru Emma yang tahu. Aku tak mau menceritakannya pada yang lainnya. Saya sudah menceritakan pada mereka kan bisa sejahat apa mereka?”

“Ya, saya sudah tahu. Kasus bullying itu.”

“Sejak itu baru saya tahu bisa sejahat apa mereka. Benar-benar gadis yang malang.”

“Kalau begitu mengapa kamu masih berteman dengan mereka, Janet?”

Gadis itu menghela napas, “Walaupun mereka seperti itu, tetap saja mereka adalah sahabat-sahabat saya sejak kecil, Dok. Meninnggalkan mereka seperti membuang sebagian dari diri saya, anda tahu?”

“Ya, saya tahu benar.” ucap Dr. Gunther sambil berpikir. “Kalau begitu saya akan melakukan sebuah terapi untuk membantumu.”

“Terapi? Terapi semacam apa?”

Dr. Gunther tersenyum, “Tenanglah. Kau akan jauh lebih baik berkat terapi ini.”

#####

.

.

Janet keluar dari gedung dimana kantor Dr. Gunther berada dan merasa seseorang mengikutinya. Ia menoleh, namun tak ada siapapun di sana.

Ia membalikkan badan kembali ke depan dan melihat sesosok pria menghadangnya.

“AAAAAAAA!!!” gadis itu menjerit dan menjatuhkan semua buku yang ia bawa.

“Nona, tenanglah! Saya tidak bermaksud jahat!” Michael berkata.

Janet memandang pemuda itu. Ia menunduk begitu menyadari buku-bukunya berhamburan di tanah dan membungkuk untuk mengambilinya.

Michael membantunya memungutinya, “Buku-buku ini ...”

“Itu buku kuliahku.”

“Oh ya? Kau mengambil jurusan apa?”

“Psikologi.” Michael tertawa,

“Oh ya? Kurasa kita mengambil kelas yang sama. Namaku Michael.”

“A ... aku Janet.” Janet kemudian berdiri dan heran melihat kerumunan orang di pagar. “Ada apa itu?’

“Ehm, aku rasa kau tak ingin melihatnya.” pemuda itu berusaha menghalangi, namun gadis itu berlari ke arah kerumunan itu.

Beberapa polisi sudah memasang tali pengaman kuning di sekitar TKP, namun belum bisa menurunkan mayat Logan yang tertusuk di atas pagar

. Gadis itu menjerit perlahan begitu melihat mayat itu. Tanpa sadar ia memeluk Michael yang ada di sampingnya.

“Si ... siapa dia?”

“Dia ... ehm, tinggal di sini juga. Namanya Logan. Kau tak mengenalnya?”

“Ku ... kurasa dia mengambil jurusan lain.”

“HEI!” terdengar bentakan seorang polisi, “SURUH DIA MENJAUH DARI SITU!!!”

“Ma... maaf!” ujar Michael. Ia lalu menarik gadis itu menjauh.

“Mengapa mereka begitu kasar.”

“Sudahlah, jangan dipikirkan.” Kata Michael sambil mengajak gadis itu berjalan masuk kembali ke gedung.

“A ... apa yang terjadi dengan pemuda itu? Mengerikan sekali.”

“Kurasa ia terjatuh dari lantai dua. Kecelakaan.”

“Janet! Dari mana saja kamu?” seru Anne sambil menghampirinya.

“Maaf, aku baru saja dari kantor Dr. Gunther."

“Well, well ... “ Anne melirik pemuda yang bersamanya sambil tersenyum genit, “Siapa cowok ganteng ini?”

“Ehm, namanya Michael,” jawab Janet.

“Hai, Michael.” Anne mengulurkan tangannya, “Namaku Anne. Kau pasti mahasiswa baru di sini. Aku pasti ingat jika pernah melihat pemuda setampan kau.”

Michael dengan bingung menatap wajah Janet.

“Ehm ... kurasa aku harus pergi sekarang. Kita bertemu nanti di kelas, Janet.” katanya dengan canggung.

“Apa dia pacar barumu?” Anne menggoda Janet begitu pemuda itu pergi.

“Bukan!” jawab Janet. “Aku baru saja berkenalan dengannya.”

“Jikalau dia pacarmu pun,” bisik Anne pelan, “itu bukanlah masalah untukku.”

#####

.

.

“Terima kasih atas kedatanganmu ke sini. Aku sangat menghargainya.” ucap Dr. Gunther sambil menyalami Michael.

“Sama-sama, dokter.” kata Michael dengan hangat, “Saya hanya merasa ini tanggung jawab saya untuk datang ke sini.”

“Jadi, polisi belum bisa menangkap Jeff The Killer?” kata Dr. Gunther sambil duduk.

“Saya ragu dia masih hidup sejak jatuh dari Devil’s Rock.” jawab Michael sambil duduk di kursi di depan meja Dr. Gunther. “Saya mendengar sebuah teori yang menarik dari seseorang di sini bahwa Jeff The Killer hanyalah sebuah creepypasta. Mungkin saja semua pembunuhan yang dituduhkan kepadanya adalah aksi2 kriminal acak yang dilakukan orang lain.”

“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau berharap Jeff bukan pelaku pembunuhan-pembunuhan itu. Namun kenyataannya tidak. Dan aku yakin, seseorang yang kau maksud itu kebetulan sekali adalah Logan, pemuda yang baru saja meninggal itu?”

“Ya, malang sekali bukan?”

Michael kembali berpikir. Ia menengok ke samping dan hampir terjatuh dari kursi ketika mellihat sebuah topeng di sana.

Topeng Jeff The Killer.

“Itu ... itu ... dimana anda mendapatkannya?”

“Oh, maaf jika itu membuatmu takut,” kata Dr. Gunther sambil menyembunyikan topeng itu, “Aku mendapatkannya sebagai suvenir dari kota.”

“Mereka menjualnya sebagai suvenir turis? Setelah apa yang ia lakukan pada mereka?”

“Kau harus mengakui, New Davenport terkenal berkat Jeff The Killer. Jadi setelah Jeff The Killer meninggal, kurasa itu sah-sah saja.”

“Meninggal? Mayatnya belum ditemukan. Mengapa mereka bisa setenang itu?’

“Tenanglah, Michael.” kata Dr. Gunther. “Aku tahu apa yang Jeff The Killer lakukan pada keluargamu, tapi ...”

“Buang topeng itu, Dok! Buang! Saya tak ingin melihatnya lagi!”

#####

.

.

“Apa? Kau akan kencan malam ini?” seru Emma dengan perasaan bercampur aduk, antara senang dan terkejut.

“Ya,” jawab Janet dengan wajah sambil sambil membenamkan kepalanya di atas bantal, “Kami bertabrakan pagi ini dan ternyata dia menyelipkan sebuah surat di antara buku-bukuku. Ia mengajakku bertemu di taman.”

“Taman yang ada air mancur di tengahnya itu?”

“Ya dan dia mengungkap perasaannya kepadaku. Ia bahkan mengajakku keluar nanti malam.”

“Wow, itu cepat sekali. Siapa namanya?”

“Michael. Kurasa ia anak baru.”

“Well, kurasa kau harus agak berhati-hati kepadanya. Baru sehari di sini, ia sudah mengajak seorang gadis berkencan.” Trisha tiba2 muncul, jelas ia menguping pembicaraan mereka berdua tadi. “Jika bukan playboy, mungkin ia seorang stalker dan mengincarmu.”

“Jangan bicara aneh2, Trish.” kata Emma. Namun Janet tak begitu mempedulikan perkataan temannya itu.

#####

.

.

Michael segera membuka pintu begitu mendengar ada ketukan. “Hai, Jan ...”

Perkataannya terhenti ketika melihat seorang gadis berada di depan pintu. Ia sangat cantik, namun tak berpenampilan seperti Janet.

“Hai Mike.” Sapanya dengan riang, “Ini aku Anne, ingat kan?”

“Anne? Dimana Janet?”

“Ia sedang sakit malam ini. Namun ia memintaku datang menggantikannya. Ayo, kita pergi ...”

#####

.

.

Janet menangis di atas bantalnya begitu Anne datang, pulang dari kencannya. Emma berusaha menenangkannya.

“Kau jahat! Kenapa kau tega melakukan itu, Anne!”

Anne tertawa, “Siapa yang duluan akan menang, Sayang. Lagipula ia tampak tak keberatan aku menggantikanmu.”

“Anne, kau mencuri kencannya! Tega-teganya kau!” Emma berusaha membela temannya itu.

“Bukankah kita sering melakukan ini saat SMA. Jangan begitu sakit hati. Kan, kalian baru kenal sehari kan?” Anne dengan santai menjatuhkan tasnya ke atas kasur dan masuk ke kamar mandi.

“AAAAAAAA!!!” terdengar jeritan Anne dari dalam kamar mandi. Dengan marah, ia keluar dari kamar mandi dan menunjuk Janet.

“Tega-teganya kau melakukan ini!” jeritnya.

Apa maksudmu?”

“Ini! Ini pasti perbuatanmu kan?”

Janet mengusap air matanya dan bersama Emma menghampiri kamar mandi.

Janet nyaris menjerit melihat tulisan merah di kaca bertuliskan, “MATILAH!”

Pertama Janet mengira tulisan itu dilukis menggunakan darah namun setelah memeriksanya, itu dari lipstik merah.

“A ... aku tak melakukannya ...”

“Jangan bohong! Kau pasti kesal kan gara2 aku mencuri kencanmu!” Anne tampak sangat marah.

“Ada apa ini? Kenapa kalian ribut2?” Trisha masuk ke kamar dengan kebingungan.

“Ayo, Trish!” Anne segera menggandeng tangan Trisha, “Kita tidur di kamar lain saja. Aku yakin masih ada banyak kamar kosong di asrama ini.”

Emma menatap Janet, “Apa kau yang melakukan ini?”

“Tentu tidak!” bantah Janet. “Kau kan bersamaku seharian.”

“Tapi hanya ada kita berempat di kamar ini, Jan! Tak mungkin ada orang lain yang bisa melakukannya. Aku tahu kau marah, tapi ini sudah bernada ancaman ...”

“Sudah kubilang bukan aku pelakunya!” jerit Janet histeris. Kini bahkan sahabatnya sendiri tidak mempercayainya.

#####

.

.

Janet berlari di tengah taman. Hari mulai gerimis dan ia sudah telat untuk kuliah. Bahkan sudah tak terlihat satu orangpun mahasiswa berkeliaran di sana. Mungkin semuanya sudah masuk ke kelas.

Pintu gedung sudah terlihat di belakang air mancur yang menghiasi bagian tengah taman. Namun Janet melihat ada yang aneh.

Ada sepatu tergeletak di bawah air mancur. Sebuah sepatu high heels. Dari kejauhan pun, Janet bisa mengenalinya sebagai milik Anne.

“Anne?” panggil Janet, “Kau di sini?”

Janet berjalan pelan sambil menutupi kepalanya dengan buku agar tidak basah. Entah mengapa, ia merasa ada kehadiran orang lain di sini.

“Anne?”

Dan saat mendekati air terjun, ia melihat sesuatu. Seutas kaki mencuat dari balik air terjun. Kaki seorang wanita.

“Astaga! Anne!” ketakutan Janet menjadi nyata. Begitu mendekatinya, ia bisa melihat tubuh seorang gadis terbenam di dalam air terjun. Rambutnya mengambang di atas permukaan air, sementara kepalanya terendam dalam air. Tak lagi bernapas.

“Anne! Tidaaaak!” Janet menjerit dan segera berlari masuk ke dalam gedung, mencari pertolongan.

“Tolong aku! Tolog aku!” suaranya bergema di koridor, namun tak ada seorangpun keluar membantunya.

Tiba-tiba pintu di dekatnya mengayun terbuka dan seorang pria keluar. Janet hampir bertabrakan dengannya.

“Janet! Ada apa? Mengapa kau menjerit-jerit seperti itu?”

Janet mengenali suara Michael.

“Mike, tolong aku! Aku ... aku menemukan mayat Anne ...”

“Anne?”

“Ya, ia sudah tewas. Tubuhnya ada di dalam air mancur. Kau ... kau harus menolongku ...”

Janet segera menarik Michael keluar, ke arah taman. Namun ....

“Tak ada apapun di sana, Janet!”

Janet terpaku. Michael benar, tak ada apapun di dalam air mancur. Bahkan, sepatu yang tadi ia lihat juga sudah lenyap.

“Ta ... tapi aku tadi melihatnya di sana. Mungkin, pembunuhnya sudah menyingkirkannya ...”

“Janet, itu tidak mungkin ....”

“Michael! Kau harus mempercayaiku!” tubuhnya gemetar.

“Janet, kau harus menenangkan dirimu!” Michael menggenggam tangan Janet. Gadis itu menatapnya.

“Maafkan aku pergi dengannya malam itu. Aku tak punya pilihan lain. Sebenarnya aku ingin pergi denganmu malam itu, namun justru Anne yang datang, dan aku tak enak mengusirnya. Tapi percayalah, aku tak merasakan apapun terhadapnya.”

“Tapi ... tapi aku sungguh melihatnya, Mike ...” gadis itu mulai menangis.

“Mari sekarang kita temui Dr. Gunther.”

“TIDAAAK! AKU TIDAK GILA!!!” Janet menjerit dan melarikan diri dari pemuda itu.

“Janet, tunggu!!!”

#####

.

.

Emma dan Janet terduduk di dalam kamar. Anne tak kembali ke kamar mereka sejak kemarin. Mereka telah memberitahukan perihal menghilangnya Anne kepada Dr. Gunther dan ia berjanji akan menyelidikinya. Namun ia menyatakan mungkin Anne membutuhkan waktu refreshing sehingga ia memutuskan pergi ke kota.

Tapi Janet begitu yakin ia tadi melihat mayat Anne tenggelam di air mancur. Ia sudah menceritakannya pada Emma dan ia bilang ia mempercayainya. Namun Janet tahu dari tatapan matanya, Emma pasti juga mengira ia gila. Seperti Michael

“Dimana dia?” tiba-tiba Trisha datang sambil menjerit ke arah Janet. “Kau kan yang melakukannya padanya!”

“Apa maksudmu, Trish?” Emma berusaha membela Janet.

“Kau kan yang membunuhnya? Aku tahu perseteruan kalian dan aku juga tahu ancaman yang kamu tulis di kaca toilet!”

“Bukan aku pelakunya ...”

“Trish, keluarlah dari sini! Kami tidak ingin sekamar lagi denganmu!” jerit Emma. Ia tahu Trisha sangat atletis sehingga dengan mudah ia bisa menyakiti mereka berdua.

“Terserahlah! Tapi kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!” Trisha meninggalkan kamar dengan marah.

“Kenapa kita semua menjadi seperti ini, Emma?” Janet menangis di pelukan temannya, “Apa kau sudah mendengar berita tentang Krystabelle?”

Emma menggeleng, “Tenanglah, Janet. Semua akan baik-baik saja. Aku yang akan mengatasinya.”

#####

.

.

“Kalian keterlaluan!” Janet turun dari podium dan mengejar gadis bergaun pink itu. Ia menangis histeris, sementara darah babi masih membasahi rambut dan gaunnya.

“Kate, berhenti!” ia berusaha menghentikan gadis itu, “Maafkan kami. Ini ... ini hanya lelucon ...”

“Lelucon?” gadis itu menjerit sambil menoleh ke arahnya. “Kau yang mengundangku ke sini! Aku pikir kau temanku, namun ternyata .... kau sama saja dengan yang lainnya!”

“Aku sama sekali tak tahu mereka merencanakan ini semua. Kumohon, maafkan aku!” .

“Kalian semua akan mati! Kau dengar! Kalian semua akan mati!”

Janet terbangun tengah malam. Suara petir yang menggelegar membangunkannya, mengakhiri mimpinya.

Kejadian itu sudah berlalu dua tahun lalu, namun ia masih bisa mengingatnya dengan jelas. Ia menoleh ke arah ranjang Emma. Kilat kembali menyambar di luar, meninggalkan berkas cahaya di kamar mereka. Emma tak ada di kamar. Ranjangnya kini kosong.

“Emma?” panggilnya. Janet menyalakan lampu di samping kamar tidurnya dan menemukan sebuah surat di sampingnya. Karena penasaran, Janet membukanya dan membacanya. Itu tulisan Trisha.

Janet, datanglah ke ruang cuci. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Datanglah sendirian.

Amplop surat itu dalam keadaan terbuka. Apa Emma membacanya? Janet memutuskan untuk bangun dan mencari Trisha. Apa yang ingin ia sampaikan malam-malam begini? Apa ia tahu apa yang terjadi dengan Anne?

Janet mengenakan sandal dan membuka pintu. Ruang cuci terletak satu lantai dengan kamarnya. Ia mengendap-endap ke sana. Lorong tampak sepi dan sunyi. Sudah terlalu malam bagi seseorang untuk berkeliaran di sini.

Janet membuka pintu menuju ke ruang cuci. Di dalam sangat gelap, namun ia bisa mendengar suara salah satu mesin cuci menyala. Terdengar suara seperti sesuatu berbenturan secara terus menerus.

“Siapa yang mencuci malam-malam seperti ini?” bisiknya dalam hati. Ia memutuskan menyalakan lampu dan berjalan menuju ke arah suara itu. Tak ada seorangpun di sana kecuali dia.

“Trisha? Emma?”

panggilnya. Janet bisa melihat mesin yang menyala itu. Suara itu jelas berasal dari situ.

Tampak sesuatu tengah berputar-putar di dalam mesin cuci itu.

Ia membungkuk untuk melihat lebih jelas.

Tubuh itu hampir hancur. Tubuhnya dilumuri darah yang kini berwarna gelap karena ruangan yang remang2. Baik kepala dan tangannya hampir putus. Dan kakinya menekuk ke arah belakang, hampir menempel ke punggungnya. mayat itu terus berputar-putar di dalam mesin cuci. Walaupun dalam kondisi hancur seperti itu, Janet masih bisa mengenalinya.

Itu mayat Trisha.

Tanpa Janet sadari sesosok bayangan hitam berdiri di belakangnya.

Dan membekapnya.

.

TO BE CONTINUED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar