JEFF THE KILLER FINAL: TRIUMPH OF EVIL – PROLOGUE - ORIGINAL SERIES=puzyweld

“Manusia adalah makhluk yang aneh, bukan?”

“Mengapa kau mengatakan begitu?”

“Manusia selalu memakai topeng, berpura-pura menjadi orang lain. Mereka berharap dengan begitu mereka dapat diterima oleh manusia lain. Padahal mereka tak tahu, bahwa manusia lain itu juga sedang memakai topeng. Seluruh dunia ini sedang berpura-pura.”

Ia menatap dokter di depannya dan melanjutkan perkataannya.

“Bukankah kita semua sama, dokter? Jika kau mau, sekali saja, melepas topengmu, maka kau akan sadar, bahwa jauh di dalam lubuk hatimu, kau adalah orang yang sama sepertiku.”

“Kau? Menurutmu siapa kau ini sebenarnya?”

“Aku,” ia tersenyum, “adalah seorang pembunuh [I am a Killer].

“Kenapa kau ingin menjadi pembunuh?”

“Karena kita semua adalah pembunuh, Dok. Jika membunuh bukanlah sebuah pelanggaran hukum, semua orang selalu ingin membunuh orang lainnya, bukan? Termasuk kau, Dok?”

“Aku? Aku tak ingin membunuh siapapun.

” Ia tersenyum dengan keji, “Aku tahu kau sedang berbohong.”

Dokter itu menelan ludah. Ia terpaksa berbohong. Memang ada yang ingin ia bunuh. Istrinya yang ia tahu sedang berselingkuh. Bosnya yang menempatkannya bekerja dengan remaja2 gila ini. Mertuanya yang selalu merendahkannya. Bahkan orang asing yang menyalip kendaraannya pagi ini.

Dokter itu segera menghapus pikiran itu dari benaknya. “Seharusnya aku yang mempengaruhi pasienku, bukan justru dia yang mempengaruhiku.” pikirnya. Namun dokter itu tetap tak bisa menghapus rasa tak nyaman yang tercermin jelas di wajahnya.

Orang yang berada di depannya, hanya Tuhan yang tahu apa yang bisa ia lakukan apabila ia bebas nanti.

Ia tak boleh keluar dari tempat ini.

#####

.

.

MALAM HALLOWEEN

“Selamat malam para muda-mudi New Davenport,” pembawa acara radio berbisik dengan suara seram yang jelas dibuat-buat, “Apa kalian siap merayakan Halloween tahun ini?”

“Jake, kemana kita akan pergi?” tanya Christine pada adiknya dengan cemas ketika mobil mereka masuk semakin dalam ke wilayah New Davenport yang kini telah ditinggalkan.

“Dimana lagi tempat keren untuk menghabiskan malam Halloween selain di rumah Jeff The Killer?” jawab pemuda itu dari balik setir.

“Apa? Kau gila! Kau mau kita kesana?”

“Bukankah kau tak percaya Jeff The Killer?”

Christine dalam hati mengiyakan. Mereka baru saja pindah ke New Davenport dan seperti orang lain yang berasal dari luar kota, mereka tak mempercayai rumor Jeff The Killer. Mereka berpendapat bahwa Jeff The Killer hanya urban legend dan creepypasta semata, sama seperti Bloody Mary atau Slenderman. Jeff, menurut mereka dan orang tua mereka, hanyalah rumor yang sengaja diciptakan warga untuk menaikkan popularitas kota mereka. Berbagai toko suvenir di kota yang menawarkan berbagai pernak-pernik Jeff The Killer adalah buktinya.

“Darimana kau tahu dimana rumah Jeff yang sebenarnya?”

“Anak-anak dari klub film membahasnya. Katanya mereka ingin membuat film tentang Jeff di sana, namun dilarang oleh pihak sekolah. Kau tahu, perumahan yang dulu didiami Jeff dan keluarganya kini menjadi seperti kota mati. Semua orang sudah pindah karena mereka tak mau bertetangga dengan Jeff. Rumor mengatakan bahwa Jeff masih sering pulang ke rumahnya ...”

“Bukankah katanya perumahan itu ditinggalkan karena ada kebocoran gas berbahaya dari bawah tanah? Lagipula kalaupun Jeff The Killer benar-benar ada, bukankah katanya ia mati setelah terjun dari tebing karang?”

“Devil's Rock maksudmu? Hahaha ... kau pernah mendengar ada anak yang jatuh dari sana tahun lalu dan selamat? Rupanya air sedang pasang sehingga tubuhnya menghantam air duluan sebelum terkoyak batu karang. Itu membuktikan bahwa Devil's Rock memang tak terlalu mematikan ketimbang yang dibicarakan orang.”

Christine bergidik. Walaupun ia masih tak mempercayai Jeff benar-benar ada, namun perasaan takut masih menyelimutinya. Perasaan ini sama seperti seseorang yang tak percaya hantu, namun masih saja takut masuk ke basement yang gelap.

Mobil mereka berhenti di depan palang yang menghalangi jalan mereka. Lampu mobil mereka menyoroti sebuah tulisan.

“NO TRESPASSING!”

“Kau lihat, ada yang disembunyikan warga kota ini.” bisik Jake, “Kalau tidak, mengapa mereka melarang seorangpun memasuki wilayah ini?”

“Apa kau dengar aku mengatakan tentang gas berbahaya di sini?” Christine memutar-mutar bola matanya dengan kesal.

“Ah, gas beracun apanya? Kau lihat hutan lebat di sekitar sini? Kalau memang ada gas beracun, harusnya semua tumbuhan dan hewan di sini sudah mati dong.”

Perkataan Jake ada benarnya, pikir Christine. Namun jika memang tak ada gas beracun, mengapa mereka memasang peringatan ini?

“Ayo, kau mau keluar atau tidak?” Jake keluar dari mobil. Christine buru-buru mencegahnya.

“Tidak, Jake! Tunggu!” seru Christine. Namun ia tak bisa menghentikan langkah adiknya yang keras kepala itu.

Dalam hati Christine menyalahkan dirinya. Ialah yang setuju pada keputusan orang tuanya untuk pindah ke kota kecil ini, walaupun ia tahu Jake tak menyukainya. Kini malam Halloween dan semua anak diundang ke pesta, kecuali mereka berdua, karena mereka anak baru di sini. Jake pasti kesal, pikirnya.

Akhirnya Christine memutuskan untuk mengikuti permainan adiknya. Ia turun dari mobil dan melintasi jalan setapak yang tampak sudah lama tak dilalui manusia. Jalanan sangat gelap sehingga mereka memutuskan membawa senter.

Setelah berjalan beberapa menit, jalan penuh semak belukar yang mereka lalui berakhir di sebuah tanah lapang. Tampak beberapa rumah yang reyot dimakan waktu. Sayang sekali, pikir Christine. Ia membayangkan penderitaan para keluarga di sini yang terpaksa menjual dan meninggalkan rumah mereka. Christine sendiri tahu, betapa berat baginya dan adiknya untuk meninggalkan rumah dimana mereka dibesarkan, lalu pindah ke sebuah kota antah berantah.

Dari deretan rumah bergaya Amerika kuno itu, sebuah rumah tampak menonjol di antaranya. Rumah itu tak lengkap lagi, bahkan bisa dikatakan hampir rubuh. Atapnya sudah tak ada lagi dan dinding rumahnya penuh dengan abu hitam.

Rumah itu pastilah rumah Jeff The Killer.

Menurut kabar burung, setelah gelombang pembunuhan kedua yang dilakukan olehcopycat killerpeniru Jeff The Killer, warga yang dipimpin para orang tua korban mengamuk dan membakar rumah keluarga Jeff.

Cahaya bulan purnama menerangi malam dan Jake melangkah menuju ke rumah itu. Christine mengikutinya, walaupun ia masih berpikir bahwa ini bukanlah ide yang bagus.

“Jake, kita sudah melihat rumahnya kan? Ayo kita pulang.” pinta Christine.

Jake menyorotkan senternya ke depan rumah itu. “Kita sudah jauh-jauh sampai ke sini. Apa kau tak mau melihat bagian dalamnya?”

“Aaaargh!” Christine dengan kesal mengikutinya. Pintu rumah itu sudah tak ada, namun tembok yang mengapitnya masih berdiri di kanan kirinya. Mereka masuk dan melihat sebuah tangga yang mengarah ke lantai dua yang kini tak beratap. Jake mulai melangkah menaikinya, meninggalkan bunyi deritan kayu ketika kakinya menapakinya satu demi satu.

“Jake, kau serius mau naik ke sana?”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Tangga ini masih kuat kok.”

“Aku tak percaya aku melakukan ini!” bisik Christine dengan kesal dalam hatinya. Namun mau tak mau ia harus mengikuti Jake untuk memastikan tak terjadi apa-apa.

Mereka sampai di sebuah ruangan. Tampak sebuah ranjang tua yang kini hanya tersisa rangkanya di tengah ruangan tersebut. Dan di atas ranjang itu terdapat sebuah tulisan.

“TIDURLAH!”

Menurutmu, ini kamar tidur orang tuanya atau adiknya?” tanya Jake sambil menyorotkan senter ke tulisan itu.”

“Mungkin ini kamar orang tuanya.” Christine bergidik ngeri ketika matanya menyapu ke seluruh bagian ruangan yang tampak hangus terbakar.

“Apa kau percaya di sini dia membantai kedua orang tuanya sendiri?” Jake nampak terpana memandang tulisan di atas ranjang tersebut.

“Jeff The Killer itu tidak ada, oke?” kata Christine, walaupun kini ia tak benar-benar mempercayai perkataannya sendiri, “Ini hanya sebuah rumah acak yang terbakar bertahun-tahun lalu. Bukan berarti ini rumah Jeff . Tulisan itu mungkin perbuatan orang iseng ...”

Perkataan Christine terpotong ketika ia menyadari langit semakin gelap. Ia mendongak dan melihat mendung tiba-tiba muncul entah dari mana dan menutupi rembulan.

“Ah, sial! Sekarang malah mau hujan! Jake, ayo kita pulang ...” Christine menengok dan tertegun.

Jake tak ada lagi di ruangan itu.

Padahal tadi ia ada di belakangnya, Christine yakin benar akan hal itu.

“Jake, dimana kau? Keluarlah!”

Christine benci jika Jake mulai iseng begini. Sejak awal seharusnya ia tak mendengarkan idenya untuk mengunjungi tempat menyeramkan ini.

“Jake, ini tidak lucu!” teriak Christine.

Christine berjalan ke arah tulisan itu. Tadi Jake barusan ada di sini. Kemana ia bersembunyi?

Senternya menyoroti tulisan itu, “TIDURLAH.”

Namun ada yang aneh dengan tulisan ini.

Warna merah ini. Ia sudah mendengar bahwa Jeff menulis dengan darah korbannya, namun bukankah semakin dengan berjalannya waktu, warna merahnya seharusnya tak seterang ini?

Christine menyentuh tulisan itu dan seluruh tubuhnya merinding.

Tulisan itu masih basah.

“Jake, kita harus ....” Christine menoleh dan melihat seringai mengerikan di belakangnya.

“AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”

Kilat menyambar di kejauhan, mengubur teriakan gadis itu.

TO BE CONTINUED ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar