CREEPYPASTA : SHSHSH …
“SREEEEK ….”
Penerjemah: Okaruto
Creepypasta asal Jepang ini menceritakan tentang dua anak yang kabur dari rumah dan bermalam di sebuah pondok tua. Di sana mereka mengalami sebuah pengalaman mengerikan yang takkan pernah bisa mereka lupakan.
Aku duduk di kelas 5 saat cerita ini terjadi. Aku saat itu sangatlah nakal dan sahabatku, Kiyoshi, tidaklah lebih baik dariku. Kami selalu terlibat dalam masalah akibat keusilan yang sering kami lakukan.
Suatu hari di pertengahan musim panas, Kiyoshi benar-benar membuat marah orang tuanya hingga mereka bertengkar hebat. Kiyoshi yang sedang dalam keadaan kepala panas memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia mengajakku ikut serta.
Aku sangat mendambakan petualangan dan tawaran itu terlalu menggoda untuk kulewatkan.
Kami mengepaki tas sekolah kami dengan barang-barang yang seorang anak kelas V SD butuhkan saat kabur dari rumah: jus, snack, dan komik. Setelah kami makan malam di rumah kami masing-masing, kami menyelinap pergi dan bertemu di taman. Saat itu sekitar jam 8 malam, dan hei, kami masihlah anak-anak!
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Kami berdiskusi dan ternyata tak ada banyak hal yang bisa kami lakukan. Kami akhirnya memutuskan bersembunyi di pondok kecil di tengah ladang. Kami tinggal di sebuah pedesaan di wilayah Nagano dan begitu kau meninggalkan desa kecil kami, maka kau hanya akan dikelilingi oleh ladang dan sawah yang seakan tiada habisnya.
Di tiap ladang, biasanya terdapat sebuah pondok kecil dimana para petani akan menyimpan semua peralatannya. Kami mengetahui sebuah pondok yang tampaknya terbengkalai dan tak terlalu diperhatikan orang. Kami akhirnya memilih tempat itu menjadi base camp kami.
Kami kemudian masuk ke pondok dan melihat-lihat “harta karun” apakah yang tersimpan di sana. Ada sebuah traktor manual (sebenarnya entah benda apa itu) dan tumpukan jerami yang nampaknya sempurna untuk menjadi ranjang kami malam ini.
Kami menyalakan lampu senter kami sambil menikmati snack yang kami bawa dan sesekali bertukar manga yang kami baca. Kami merasakan puas, akhirnya kami berhasil mencicipi seperti apa kebebasan itu.
Berapa lama kami di dalam, entah aku tidak begitu yakin. Namun suatu saat di tengah malam, kami mendengar suara yang aneh, asalnya dari luar. Kiyoshi dan aku hampir melompat karena terkejut dan segera mematikan lampu senter kami.
Apakah itu salah satu dari orang tua kami? Ataukah itu pemilik pondok ini? Kamu bersembunyi di balik tumpukan jerami dan memelankan suara napas kami agar tak ada yang mendengar keberadaan kami.
“Sreeek ... sreeeek ....”
Kami mendengar suara yang aneh. Suara itu kedengarannya seperti sesuatu yang diseret di atas jalan berkerikil.
“Sreeeeek ... sreeeeek ...”
Apapun itu, ia sedang berjalan mengelilingi pondok.
“Apa itu?” aku berbisik dengan suara serendah mungkin.
“Kurasa kita harus mengeceknya keluar?” tanya Kiyoshi, yang entah bagaimana, lebih pemberani ketimbang aku saat itu. Ia perlahan bangkit dan mengendap-endap mendekat ke jendela. Aku yang berada di belakangnya melihat Kiyoshi melompat ketakutan saat ia melongok dari jendela. Aku ikut melihat keluar karena penasaran.
Ada seorang wanita tua di luar.
Punggung wanita itu bungkuk dan ia sangatlah kurus, sehingga nampak seperti tulang yang hanya terbungkus oleh kulit. Rambutnya yang putih sangatlah panjang dan tampak berantakan.
“Si ... siapa dia?” bisik Kiyoshi dengan suara pelan. Namun aku sama sekali tak tahu menahu, sama seperti dia.
Perempuan tua itu menyeret sebuah karung yang tampaknya terbuat dari goni. Karung itu tertutup oleh sebuah tali yang mengikat bagian atasnya. Karung itulah yang menyebabkan suara yang tadi kami dengar.
“Sial! Apa dia nenek sihir dari gunung yang anak-anak selalu takutkan itu?”
Kami gemetar dan perlahan mundur dari jendela. Kami hampir sampai di tumpukan jerami itu ketika tanpa sengaja Kiyoshi menginjak sebuah sekop. Suaranya dentingan logam yang mengenai tanah berbatu langsung bergema di penjuru pondok, jauh lebih keras daripada yang kami bayangkan.
Aku melongok ke arah jendela dan melihat wanita tua itu berlari dengan kecepatan tinggi ke arah pondok kami.
Aku segera menarik Kiyoshi untuk bersembunyi di dalam jerami.
“BANG!”
Pintu pondok terdorong membuka tepat di saat kami berhasil menutupi seluruh tubuh kami dengan jerami. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku agar aku tidak berteriak.
“Siapaaaaaa.... yang ada di siniiiiiiiiiiii .......” suaranya terdengar parau dan serak. Matanya terlihat sekana bersinar ketika ia memandangi seluruh ruangan. “Aaaaaaaku tak akan menyakiti kaliaaaaan .... keluarlaaaaaaah ....,,”
Aku hanya bisa melihat sedikit dari nenek itu dari balik jerami dan mataku memperhatikan karung yang ia bawa. Karung itu bergerak, seakan ada makhluk hidup yang dikurung di dalamnya. Aku hampir berteriak ketika melihat sesuatu mencuat keluar dari ujung karung yang terikat itu.
Seutas tangan.
“Masuk!” perempuan itu menendang karung itu dan mendorong tangan itu kembali ke dalam karung itu.
Apapun yang da di dalam karung itu, ia masih bergerak-gerak.
Aku pikir Kiyoshi dan aku benar-benar akan mati malam itu.
“Ahaaaaaa ... apaaaaa mungkin kalian di siniiiiiiiii?” ia mengambil sebuah garpu rumput yang besar dan mendekat ke arah kami. Sebelum kami sempat kabur, ia mulai menusuki jerami tempat kami bersembunyi dengan garpu rumput itu.
Kiyoshi dan aku menangis ketakutan dan berusaha mengelak dari serangannya. Jika saja tumpukan jerami itu tak cukup luas, pastilah kami berdua sudah mati tertusuk saat itu. Kami terus mundur ke arah dinding kayu dari pondok ini ketika jerami di depan kami mulai membelah oleh tiap tusukan. Kami hanya berharap garpu rumput itu tak cukup panjang untuk menusuk kami.
Dan tepat ketika tak ada tempat bagi kami untuk mundur ....
“Ah, mungkin itu bukan apa-apa ....”
Kami mendengar suara garpu rumput itu dibanting begitu saja di tanah. Kemudian suara langkah kakinya segera menggema di dalam pondok, masih diikuti oleh suara karung itu saat diseret di atas tanah.
“Sreeeeeek .... sreeeeeek ....”
Suara itu makin menjauh dan menjauh.
Bahkan ketika pondok itu kosong dan wanita tua menakutkan itu pergi, kami tak mampu bergerak sedikitpun.
“Ia sudah pergi, kan?” bisik Kiyoshi.
“Kurasa begitu ....”
Namun tak ada seorangpun dari kami yang ingin keluar dari tumpukan jerami itu. Kami terus meringkuk di sana, sambil memikirkan apa yang kami lakukan selanjutnya.
Kemudian aku mulai menyadari hembusan angin malam yang dingin di tengkuk-ku. Aku menoleh dan menyadari ada sebuah lubang berdiamater 5 cm di dinding kayu tempat kami bersandar. Pantas saja kami sama sekali tak kehabisan napas di dalam tumpukan jerami tadi.
Aku mendekatkan wajahku ke lubang itu untuk melihat keadaan di luar.
“KAU KELIHATAN LEZAT UNTUK DIMAKAN, NAK!” tiba-tiba suara wanita itu terdengar tepat di depanku dan tangannya yang kurus tiba-tiba mencengkeram wajahku dan mulai menarikku.
Aku menjerit ketika hal itu terjadi. Bau kulitnya sangat busuk dan anyir. Seperti bau darah.
Aku tak ingat apapun semenjak kejadian itu. Aku pingsan karena ketakutan.
Ketika aku sadar, kami berada di kantor polisi. Kiyoshi juga pingsan saat itu dan terima kasih pada orang tua kami yang melaporkan kami, akhirnya beberapa polisi menemukan kami di pondok itu.
Mereka terlihat amat marah, namun kami justru sangat gembira melihat wajah mereka. Kami bersyukur bahwa kami akhirnya selamat.
Kami menceritakan kepada orang tua kami tentang apa yang terjadi. Namun mereka bersikeras bahwa itu hanyalah mimpi buruk.
Namun aku tahu itu bukanlah mimpi.
Sebab tangan nenek itu masih membekas di wajahku.
The End.
Arrgghh serem
BalasHapusijin copy ya
BalasHapusijin copy ya min
BalasHapusIzin copas om
BalasHapus